Ilmu HRD

Blog berbagi ilmu untuk praktisi HR

Breaking

Cari di Blog Ini

Aturan terbaru klaim Jaminan Hari Tua (JHT)

BOGOR, 25 Mei 2022. Pada tanggal 2 Februari 2022 yang lalu, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan RI mengeluarkan peraturan yang sempat membuat heboh baik di media sosial maupun media mainstream, karena peraturan tersebut dianggap kontroversial dan tidak memihak kepada buruh sehingga ditolak oleh sebagian besar masyarakat Indonesia terutama kalangan buruh/pekerja. Peraturan tersebut tak lain adalah Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).

Aturan tentang JHT ini merupakan aturan yang merubah aturan sebelumnya yaitu Peraturan Menteri No. 19 Tahun 2015. Karena banyak ditentang oleh kelompok buruh di seluruh Indonesia, bahkan sempat menimbulkan aksi demonstrasi di berbagai wilayah di seluruh Indonesia maka kemudian Permen No.2 Tahun 2022 dinyatakan diicabut dan diterbitkan Kembali Peraturan Menteri No. 4 Tahun 2022.

Sebenarnya bagaimana aturan dan syarat pengambilan JHT yang berlaku saat ini? Dan apa perbedaan dari 2 aturan yang sebelumnya? Sambil menikmati kopi di pagi hari, mari kita simak pembahasannya.

Download Permen No.4 Tahun 2022.

Ilustrasi JHT = "Jahat"

    A. Siapa saja yang menjadi peserta JHT?

Berdasarkan Pasal 2 Permen No.4/2022, Yang menjadi peserta program JHT yaitu;

1.      Peserta penerima upah yang bekerja pada pemberi kerja selain penyelenggara negara, yaitu setiap orang yang bukan aparatur sipil, TNI, ataupun POLRI yang menerima upah, yang terdiri atas;

a.    Pekerja pada perusahaan

b.    Pekerja pada orang perseorangan, dan

c.     Pekerja asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 bulan.

2.       Peserta bukan penerima upah, yang terdiri atas;

a.    Pemberi kerja / Pengusaha,

b.    Pekerja diluar hubungan kerja atau pekerja mandiri (wiraswasta)

c.     Pekerja yang tidak termasuk huruf (b) yang bukan menerima upah, misalnya para professional (dokter, pengacara, konsultan, dll).

Bagaimana dengan 2 aturan sebelumnya? Berbeda dengan Permen No.4/2022, 2 peraturan sebelumnya yaitu Permen No.19/2015 dan Permen No.2/2022, tidak menyebut lebih detail tentang ketententuan peserta JHT ini. Hanya ada satu pasal yang menerangkan tentang definisi peserta di Pasal 1 Ayat (2) sebagai berikut:

            "Peserta JHT yang selanjutnya disebut Peserta dalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia yang telah membayar iuran".

Jadi jika kita simpulkan yang dimaksud Peserta JHT adalah;

1.       Semua orang yang masuk dalam kategori Pasal 2 Permen No.4/2022,

2.       Telah membayar iuran JHT melalui BPJS Ketenagakerjaan

    


BB. Peserta Yang Mendapatkan Manfaat JHT.

Manfaat JHT diberikan kepada peserta yang;

1)      Mencapai usia pensiun,

2)      Mengalami cacat total tetap,

3)      Meninggal dunia,

Ketentuan ini tidak berubah dari Permen No.19/2015, Permen No.2/2022, maupun Permen No.4/2022 yang saat ini berlaku, sehingga penulis merasa tidak perlu membahas ini lebih jauh.


    C. Persyaratan mendapatkan manfaat JHT bagi peserta yang berhenti bekerja.

Dalam artikel ini hanya membahas persyaratan mendapatkan manfaat bagi peserta yang berhenti bekerja, karena bagi peserta yang mengalami cacat total tetap dan meninggal dunia tidak ada perubahan dari 2 Permenaker sebelumnya.

Mengenai persyaratan mendapatkan manfaat JHT bagi peserta yang mencapai usia pensiun,  Permen No.19/2015 memberikan rincian sbb:

a.       Manfaat JHT bagi peserta yang mencapai usia pensiun termasuk juga yang berhenti bekerja,

b.       Peserta yang berhenti bekerja antara lain (Pasal 3)

·         Peserta mengundurkan diri

·         Peserta terkena PHK

·         Peserta meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya

Dari ketentuan tersebut, dapat dilihat bahwa ada perluasan arti dari syarat pensiun yaitu termasuk juga dalam kategori tersebut adalah pekerja yang resign, di-PHK, dan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Berdasarkan ketentuan dalam pasal tersebut, maka pekerja yang resign dan PHK pun dapat mengambil manfaat JHT nya.

Namun, setelah dikeluarkannya Permen No.2/2022 yang mengubah Permen No.19/2015, ketentuan Pasal 3 tersebut dihilangkan sehingga bunyi ketentuan perubahannya sbb:

“Manfaat JHT bagi Peserta yang mencapai usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a diberikan kepada Peserta pada saat mencapai usia 56 (lima puluh enam) tahun.”

Ketentuan inilah yang kemudian menimbulkan kontroversi dan mendapatkan penolakan dari mayoritas kalangan buruh. Ketentuan tersebut secara tegas mengatur bahwa uang JHT hanya bisa diambil setelah peserta mencapai usia 56 tahun, meskipun peserta sudah tidak bekerja.

Setelah mendapat penolakan dari kalangan buruh, akhirnya Permen No.2/2022 inipun dinyatakan dicabut dan kemudian diganti dengan Permen No.4/2022 yang mengembalikan persyaratan pembayaran manfaat JHT seperti semula (Permen No.19/2015), bahkan memperjelas persyaratannya menjadi lebih longgar sehingga diterima oleh kalangan buruh. Adapun ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 4 Tahun 2022 sbb:

Pasal 5

(1)    Peserta yang mencapai usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a termasuk juga Peserta yang berhenti bekerja.

(2)    Peserta yang berhenti bekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.    Peserta yang mengundurkan diri;

b.    Peserta yang terkena pemutusan hubungan kerja; dan

c.    Peserta yang meninggalkan Indonesia untuk selama lamanya.

 

Pasal 6

(1)    Manfaat JHT bagi Peserta yang mencapai usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a dibayarkan secara tunai dan sekaligus kepada Peserta pada saat:

a.    mencapai usia pensiun sebagaimana diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama; atau

b.    mencapai usia 56 (lima puluh enam) tahun.

(2)    Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), manfaat JHT dapat dibayarkan kepada:

a.    Peserta karena berakhirnya jangka waktu dalam perjanjian kerja; atau

b.    Peserta bukan penerima upah karena berhenti bekerja.

 

Jadi, berdasarkan ketentuan Pasal 5 & 6 Permen No.4/2022, dapat disimpulkan bahwa peserta yang berhenti bekerja dan dapat mencairkan JHT adalah sbb:

a)    Peserta mencapai usia pensiun (56 tahun), atau

b)   Peserta mengundurkan diri (resign), atau

c)    Peserta terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), atau

d)   Peserta meninggalkan Indonesia untuk selama lamanya, atau

e)   Peserta dengan status PKWT telah berakhir jangka waktu perjanjiannya, atau

f)     Peserta (bukan penerima upah) berhenti bekerja dengan alasan apapun.

 



    D. Persyaratan dokumen klaim JHT

1)      Peserta mencapai usia pensiun (56 tahun)

·         Kartu BPJS Ketenagakerjaan

·         Kartu tanda penduduk atau kartu identitas lainnya


2)      Peserta mengundurkan diri (resign)

·         Kartu BPJS Ketenagakerjaan

·         Kartu tanda penduduk atau kartu identitas lainnya

·         Keterangan pengunduran diri dari pemberi kerja tempat peserta bekerja


3)      Peserta terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) termasuk juga peserta yang berakhir PKWT nya

·         Kartu BPJS Ketenagakerjaan

·         Kartu tanda penduduk atau kartu identitas lainnya

·         tanda terima laporan pemutusan hubungan kerja dari instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan, atau

·         surat laporan pemutusan hubungan kerja dari pemberi kerja kepada instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan, atau

·         pemberitahuan pemutusan hubungan kerja dari pemberi kerja dan pernyataan tidak menolak PHK dari pekerja, atau perjanjian bersama yang ditandatangani oleh pengusaha dan pekerja/buruh, atau

·         petikan atau putusan pengadilan hubungan industrial.


4)      Peserta meninggalkan Indonesia untuk selama lamanya

·         Kartu Peserta BPJS Ketenagakerjaan;

·         paspor; dan

·         surat pernyataan tidak bekerja lagi di Indonesia.


5)      Peserta mengalami cacat total tetap

·         Kartu Peserta BPJS Ketenagakerjaan;

·         kartu tanda penduduk atau bukti identitas lainnya; dan

·         surat keterangan dokter pemeriksa dan/atau dokter penasihat.


6)      Peserta meninggal dunia

·         Kartu Peserta BPJS Ketenagakerjaan;

·         surat keterangan kematian dari dokter atau pejabat yang berwenang;

·         surat keterangan ahli waris dari pejabat yang berwenang atau surat penetapan ahli waris dari pengadilan; dan

·         kartu tanda penduduk atau bukti identitas lainnya dari ahli waris.

 

    E. Masa tunggu untuk mengajukan klaim manfaat JHT

Manfaat JHT dapat langsung diajukan oleh peserta atau ahli warisnya yang berhenti bekerja dengan alasan;

a)       Peserta mencapai usia pensiun yang ditetapkan dalam PP, PKB atau Perjanjian Kerja, atau peserta telah mencapai usia 56 tahun.

b)      Peserta meninggal dunia.


Selain 2 alasan tersebut di atas maka peserta hanya dapat mengajukan klaim manfaat JHT setelah melewati masa tunggu 1 (satu) bulan sejak tanggal efektif berhenti bekerja atau 1 (satu) bulan setelah dinyatakan cacat total tetap.

 

    F. Klaim manfaat bagi peserta dari perusahaan yang menunggak iuran.

Salah satu kelonggaran atau kemudahan yang diberikan dalam Permen No.4 Tahun 2022 adalah bahwa, peserta yang telah memenuhi syarat sesuai dengan Permen tersebut namun perusahaannya masih menunggak iuran maka tetap dapat mengajukan klaim manfaat JHT kepada BPJS Ketenagakerjaan dan mendapatkan manfaat JHT berikut pengembangannya hingga iuran terahir yang dibayarkan (Pasal 20 Ayat 1).

Perusahaan tetap berkewajiban membayar tunggakan iuran peserta kepada BPJS (Pasal 20 Ayat 2).

Jika perusahaan telah membayarkan tunggakan, maka Peserta berhak mendapatkan kekurangan manfaat JHT dari BPJS Ketenagakerjaan.

No comments:

Post a Comment

Entri yang Diunggulkan

Omnibus Law Ketenagakerjaan dan Urgensinya

Bogor, 31-01-2020. Sudah lebih sekitar tiga bulan terakhir ini, kita sering kali mendengar istilah "Omnibus Law" bahkan hingga sa...