Ilmu HRD

Blog berbagi ilmu untuk praktisi HR

Breaking

Cari di Blog Ini

Omnibus Law Ketenagakerjaan dan Urgensinya


Bogor, 31-01-2020. Sudah lebih sekitar tiga bulan terakhir ini, kita sering kali mendengar istilah "Omnibus Law" bahkan hingga saat ini baik dari informasi di media mainstream (televisi, radio, dan berita online) maupun melalui media sosial, sehingga kata tersebut seolah tak asing lagi di telinga kita. Sambil menikmati secangkir kopi panas di sore hari di waktu cuti, (kebetulan pada saat membuat tulisan ini penulis sedang cuti dan ingin sekali berbagi informasi mengenai judul di atas), mari kita simak pembahasannya.




Asal - usul istilah "Omnibus"

"Bus Omni" memang mengagetkan. Saat itu tahun 1820, saat pertama kali dipakai di Paris, koq ada kendaraan yang bisa dipakai mengangkut orang begitu banyak --pun dengan berbagai jenis barang milik penumpang. Apa saja bisa masuk, semua bisa dimuat.

Paris pula yang pertama kali menggunakan istilah Omnibus. Bus jenis Omni, tapi baru menjadi istilah generik ketika dipakai di Amerika Latin. Di sana segala sesuatu yang bisa dimasuki apa saja disebut Omnibus. Seorang yang sangat rakus makan disebut punya perut Omnibus.

Bus Omni lantas sangat populer. Itulah kendaraan besar "pengangkut berbagai jenis" keperluan.
Omnibus pun dipakai sebagai istilah generik. Apa pun yang bisa dipakai ramai-ramai disebut Omnibus begitupun di bidang hukum. (Tulisan Dahlan Iskan dalam media sosial)

Omnibus Law

dikutip dari halaman hukumonline.com "omnibus" diambil dari bahasa Latin yang artinya “for everything”. Black Law Dictionary yang menjadi rujukan definisi istilah hukum di Barat juga sudah menjelaskan apa itu omnibus law. Intinya, konsep ini ibarat pepatah sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Satu regulasi baru dibentuk sekaligus menggantikan lebih dari satu regulasi lain yang sudah berlaku. Konsep ini bisa saja hanya menggantikan beberapa pasal di satu regulasi dan saat bersamaan mencabut seluruh isi regulasi lain.

Secara historis, praktik penerapan Omnibus Law telah banyak diterapkan di berbagai negara common law system, dengan tujuan untuk memperbaiki regulasi di negaranya masing-masing dalam rangka meningkatkan iklim dan daya saing investasi. Secara sederhana konsep omnibus law digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1 : Konsep Omnibus Law

Manfaat Penerapan Omnibus Law

1.   Menghilangkan tumpang tindih Peraturan perundang-undangan.
       Sebagai contoh, Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No.1/2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Dengan Perppu itu, Direktur Jenderal Pajak berwenang mendapat akses informasi keuangan dari perbankan, pasar modal, perasuransian, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Kewenangan itu melabrak prinsip kerahasiaan bank sebagaimana Pasal 40 ayat 1 UU Tahun 1998 tentang Perbankan yang menyebutkan, setiap nasabah harus dilindungi kerahasiaan datanya oleh bank. Disinilah tumpeng tidih peraturan terjadi.

2.  Efesiensi proses perubahan/pencabutan Peraturan perundang-undangan.
       UU Investasi sebenarnya isinya sudah sangat bagus, namun bisa jadi UU Investasi itu sulit mencapai tujuan untuk meningkatkan modal masuk ke Indonesia karena terhambat oleh UU yang lain, misalnya UU Otonomi Daerah, UU Ketenagakerjaan, UU Lingkungan Hidup/Amdal, UU Bangunan/IMB. Dan banyak lagi. Mengubah salah satu UU itu saja tidak menyelesaikan masalah. Bahkan bisa saja isinya malah bertabrakan lagi dengan UU lain

3.  Menghilangkan ego sektoral.
       Persoalan ego sektoral sudah berkali-kali disebut sebagai penyumbang banyaknya tumpang tindih peraturan. Masing-masing lembaga mengatur masalah tertentu tanpa memikirkan lebih jauh imbasnya pada kewenangan lembaga lain. Solusi yang ditempuh pemerintah adalah menempatkan Kementerian Hukum dan HAM sebagai law center Pemerintah. Tetapi karena Kementerian ini sederajat dengan Kementerian lain persoalan ego sektoral tak sepenuhnya bisa diatasi. “Peran koordinasinya cenderung tidak terlalu dianggap oleh kementerian atau lembaga lain, padahal sebenarnya penting sekali. Untuk itu Omnibus Law ini dipandang sebagai solusi terbaik saat ini.




OMNIBUS LAW CIPTA LAPANGAN KERJA

Omnibus Law dalam rangka menciptakan lapangan kerja yang sebesar-besarnya ini berdampak kepada perubahan maupun pencabutan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu sekitar 79 Undang-undang dan 1.244 Pasal, yang kemudian dikelompokan dalam 11 bagian/klaster yaitu:

1. Penyederhanaan Perizinan
2. Persyaratan Investasi
3. Ketenagakerjaan
4. Kemudahan , Pemberdayaan , dan Perlindungan UMKM
5. Kemudahan Berusaha
6. Dukungan Riset & Inovasi
7. Administrasi Pemerintahan
8. Pengenaan Sanksi
9. Pengadaan Lahan
10. Investasi dan Proyek Pemerintah
11. Kawasan Ekonomi

Penjelasan tentang UU dan Pasal terdampak dapat dilihat dalam gambar di bawah ini:


Gambar 2 : Peraturan terdampak
Dari 11 bagian/klaster di atas kita akan fokus pada pembahasan bagian/klaster ketenagakerjaan, yaitu tentang Upah Minimum, Outsourcing, Tenaga Kerja Asing, Pesangon PHK, dan Jam Kerja.


1. Upah Minimum

Pokok-Pokok Kebijakan terkait Upah Minimum:
Upah minimum tidak turun dan tidak dapat ditangguhkan.
Kenaikan upah minimum memperhitungkan pertumbuhan ekonomi daerah.

Penjelasan:

a. Upah Minimum hanya berlaku bagi pekerja baru yang bekerja kurang dari 1 tahun , namun pekerja tersebut tetap dimungkinkan menerima upah di atas UM dengan memperhatikan kompetensi , pendidikan dan sertifikasi.

b. Pekerja dengan masa kerja 1 tahun ke atas, mengikuti ketentuan upah sesuai dengan struktur upah dan skala upah pada masing masing perusahaan

c. Industri padat karya dapat diberikan insentif berupa perhitungan upah minimum tersendiri, untuk mempertahankan kelangsungan usaha dan kelangsungan bekerja bagi pekerja.

d. Dapat diterapkan skema upah per jam
Untuk menampung jenis pekerjaan tertentu (konsultan, pekerjaan paruh waktu, dll), dan jenis pekerjaan baru ekonomi digital. Untuk memberikan hak dan perlindungan bagi jenis pekerjaan tersebut, perlu pengaturan upah berbasis jam kerja , yang tidak menghapus ketentuan upah minimum. Apabila upah berbasis jam kerja tidak diatur , maka pekerja tidak mendapatkan perlindungan upah.


2. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Pokok Kebijakan terkait Pemutusan Hubungan Kerja (PHK):
Tetap memberikan perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK;
Pekerja yang terkena PHK tetap mendapatkan kompensasi PHK.

Penjelasan:
a. Pemerintah menambahkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK.

b. JKP memberikan manfaat berupa: 1) Cash Benefit , 2) Vocational Training, 3). Job Placement Access

c. Penambahan manfaat JKP, tidak menambah beban iuran bagi pekerja dan perusahaan.

d. Pekerja yang mendapatkan JKP, tetap akan mendapatkan jaminan sosial lainnya yang berupa:
  • Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK);
  • Jaminan Hari Tua (JHT);
  • Jaminan Pensiun (JP);
  • Jaminan Kematian (JKm).
e. Untuk memberikan perlindungan bagi P ekerja K ontrak , diberikan perlakuan dalam bentuk kompensasi pengakhiran hubungan kerja.


3. Pekerja Kontrak (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu/PKWT )

a. Pekerja Kontrak mendapatkan hak dan perlindungan yang sama dengan Pekerja Tetap, antara lain dalam hal: Upah, Jaminan Sosial, Perlindungan K3 dan hak atas kompensasi akibat pengakhiran kerja atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

b. Perkembangan teknologi digital dan revolusi industri 4.0 , menimbulkan jenis pekerjaan baru yang bersifat tidak tetap (ekonomi digital Pekerja Kontrak pada jenis pekerjaan ini tetap harus diberikan hak dan perlindungan yang sama dengan Pekerja Tetap.


4. Alih Daya (Outsourcing)

a. Peningkatan perlindungan hak Pekerja Alih Daya.

b. Untuk Pekerja Alih Daya baik yang bekerja sebagai Pekerja Kontrak maupun Pekerja Tetap, diberikan hak dan perlindungan yang sama antara lain dalam hal: Upah, Jaminan Sosial, Perlindungan K3 dan hak atas kompensasi akibat pengakhiran kerja atau Pemutusan Hubungan Kerja.


5. Waktu Kerja

Pemberian fleksibilitas waktu kerja dengan tetap mengedepankan hak dan perlindungan pekerja.
a. Waktu kerja:
- Paling lama 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu.
- Pekerjaan yang melebihi jam kerja diberikan Upah Lembur.
- Pelaksanaan jam kerja diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

b. Beberapa pekerjaan yang karena sifatnya, tidak bisa menerapkan jam kerja normal 8 jam per hari (misalnya pekerjaan paruh waktu yang kurang dari 8 jam per hari).

c. Pekerjaan pada sektor sektor tertentu (migas, pertambangan, perkebunan, pertanian dan perikanan) memerlukan jam kerja yang lebih panjang dari jam kerja normal.

d. Jenis pekerjaan tersebut menerapkan jam kerja sesuai dengan kebutuhan kerja yang bersangkutan, namun tetap mengedepankan perlindungan bagi pekerja antara lain: upah, termasuk upah lembur, perlindungan k3, dan jaminan sosial.

Yang perlu dicermati bersama adalah apakah tujuan omnibus law cipta lapangan kerja ini benar-benar bisa menciptakan lapangan pekerjaan serta berbanding lurus dengan terjaminnya kesejahteraan pekerja? jika iya maka tentu langkah ini sangat ditunggu realisasinya dan menjadi urgent untuk dilaksanakan. Namun jika sebaliknya maka sebaiknya pemerintah lebih fokus kepada peningkatan kesejahteraan pekerja daripada hanya berusaha menarik investor untuk membuka usaha di Indonesia.

No comments:

Post a Comment

Entri yang Diunggulkan

Omnibus Law Ketenagakerjaan dan Urgensinya

Bogor, 31-01-2020. Sudah lebih sekitar tiga bulan terakhir ini, kita sering kali mendengar istilah "Omnibus Law" bahkan hingga sa...