Ilmu HRD

Blog berbagi ilmu untuk praktisi HR

Breaking

Cari di Blog Ini

Izin Gangguan (H.O), bagaimana nasibnya setelah adanya Permendagri No.19/2017?




Pertanyaan itu pula yang sekarang masih ada di benak para praktisi GA/Legal di perusahaan-perusahaan, baik perusahaan kecil, menengah, bahkan perusahaan besar sekalipun. Begitu juga bagi pada birokrat pemerintah daerah yang biasa menangani hal ini.

Baiklah sebelum kita bahas implikasi adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan Di Daerah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas PERATURAN Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan Di Daerah, terhadap izin gangguan, kita bahas dulu tentang arti dan maksud dari Izin gangguan (H.O).

HO adalah singkatan dari 'Hinder Ordonantie.' Izin ini sendiri adalah izin tempat usaha/kegiatan kepada pribadi atau badan hukum yang menjalankan suatu bidang usaha yang berpotensi menimbulkan bahaya, kerugian dan gangguan masyarakat serta kelestarian lingkungan hidup.  







DASAR HUKUM

Dasar hukum izin ini adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Selain itu, masih ada Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang mengatur secara rinci tentang Retribusi Izin Gangguan. Bahkan pada kabupaten tertentu ada yang menerapkan rumus untuk nenentukan besar biaya retribusi ini. Misalnya, Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor mengeluarkan Perda No. 10 Tahun 2012, yang secara rinci mengatur besar retribusi untuk izin ini. 

Secara matematis, besar retribusi adalah luas ruang usaha dikali indeks lokasi dikali indeks gangguan dikali retribusi per meter. Indeks lokasi masih dibagi lagi. Jalan negara- indeks lokasinya 5; jalan provinsi, 4; jalan kabupaten, 3, jalan desa, 2. Untuk intensitas gangguan yang tinggi dikenakan indeks gangguan 5; sedang, 4; kecil, 2.  Hasil perkalian antara luas tempat usaha, indeks lokasi dan indeks gangguan dan tarif per meter- itulah total retribusi yang harus Anda bayar kepada pemerintah daerah.

Sumber Gambar : http://rasmankhan.blogspot.co.id

Retribusi Izin ini bukan tanpa tujuan. Retribusi ini merupakan pembayaran atas pemberian izin tempat usaha Anda sebagai pribadi atau badan usaha di lokasi tertentu yang menimbulkan bahaya, kerugian dan gangguan. Ini dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. 

SETELAH BERLAKUNYA PERMENDAGRI NO.19 TAHUN 2017

Banyak diantara para pihak yang berekepentingan dalam hal ini mempertanyakan pencabutan izin gangguan dengan Permendagri tersebut, baik dari kalangan pemerintah daerah, pengusaha dan prkatisi HR/GA/Legal sebagaimana yang saya dapati dalam sebuah chat WhatsApp. Bahkan ada beberapa daerah yang masih tetap mewajibkan adanya izin gangguan meski telah ada Peraturan Menteri tersebut misalnya saja Pemerintah Kota Medan. 

Meski Pemerintah Pusat telah me­ngeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.19 Tahun 2017 tentang Pen­cabutan Izin Gangguan (HO), untuk men­­dongkrak perekonomian industri daerah yang sedang lesu, ternyata tak digubris oleh Pemkot Medan. Buktinya hingga tanggal 09 Agustus 2017, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPPT), tetap mengutip biaya retribusi bagi setiap pengurus. Peraturan yang membawa angin segar bagi para pengusaha ini, ternyata belum bisa dinikmati oleh pengusaha maupun investor yang akan masuk di kota Medan. Padahal, pada saat Permendagri No 19/2017 berlaku, maka segala regulasi sebelumnya perihal penetapan Izin Gangguan di Daerah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku mulai penandatanganan aturan itu pada Rabu, 29 Maret 2017. (sumber : JurnalAsia.com)

Sebagaimana kita ketahui bahwa pelayanan penerbitan Izin Gangguan merupakan salah satu kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dilihat dari jenisnya, Izin Gangguan termasuk dalam jenis objek retribusi perizinan tertentu.
Berdasarkan ketentuan Pasal 144 (1) UU tersebut, Objek Retribusi Izin Gangguan adalah pemberian izin tempat usaha/kegiatan kepada orang pribadi atau Badan yang dapat menimbulkan ancaman bahaya, kerugian dan/atau gangguan, termasuk pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan, dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja.
Lantas apa alasan Kemendagri menetapkan Permendagri 19/2017 diatas? Nah, hal ini bisa kita baca pada bagian Konsiderans Menimbangnya, namun intinya Kemendagri menilai bahwa Izin Gangguan selama ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, dan tuntutan kemudahan berusaha (ease of doing business) di Indonesia katanya.

Bagaimana posisi Pemerintah Kabupaten/Kota atas Permendagri No. 19/2017 ini?

Bahwa dengan ditetapkannya Permendagri 19/2017 yang mencabut Permendagri No.27/2009 berikut perubahannya tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan di Daerah, yang dalam hal ini telah menjadi acuan bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menyusun dan menetapkan Perda dengan maksud serupa, maka otomatis status Perda tersebut tidak akan lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.

Lantas, bagaimana pula soal pelayanan dan pemungutan retribusinya?
Pelayanannya pasti akan terdampak, namun terkait retribusinya, masih bisa dipungut. Karena apa?, karena pasal yang mengatur Retribusi Izin Gangguan dalam UU 28/2009 dan merupakan legal standing Pemerintah Kabupaten/Kota untuk memungut retribusinya tidak dicabut dan Perda Retribusinya otomatis juga masih tetap berlaku.

Bagaimana cara pungutnya kalau Perda pedoman teknis penetapannya sudah dicabut?
Disinilah terjadi kekosongan hukum (recht vacuum) atas pedoman teknis pelaksanaan pelayanan Izin Gangguan, maka jika merujuk ketentuan Pasal 22 (2) huruf b UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Bupati/Walikota dalam hal ini dapat menggunakan asas diskresi untuk mengisi kekosongan hukum atas pedoman penetapan Izin Gangguan. Tujuannya tiada lain hal untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan/pelayanan kepada masyarakat, dan memberikan kepastian hukum demi mencegah terjadinya stagnasi bagi kemanfaatan dan kepentingan umum.

Bedasarkan fakta dan yuridis yang disampaikan di atas, maka dapat penulis simpulkan sbb:
  1. Segala aturan teknis yang mengatur Izin gangguan sudah tidak berlaku lagi.
  2. Dengan dicabutnya seluruh aturan tentang Izin gangguan, maka terjadi kekosongan hukum atas aturan yang berlaku dalam Undang-Undang No.28 Tahun 2009 dimana retribusi izin gangguan merupakan salah satu objek retribusi, namun pelaksanaan teknisnya sudah tidak berlaku lagi.
  3. Untuk menutup kekosongan itu, maka jika Pemerintah Daerah akan tetap mengambil retribusi Izin gangguan maka Kepala Daerah dapat menggunakan asas diskresi untuk mengisi kekosongan hukum atas pedoman penetapan izin.
  4. Bagi Pengusaha yang akan dipungut retribusi atas Izin gangguan, maka harus mempertanyakan dasar atau diskresi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Tidak semata-mata alasannya karena Perdanya belum dicabut juga, karena pada azasnya Peraturan Daerah yang mendasarkan pada Peraturan di atasnya dan peraturan tersebut telah dicabut, maka Perda tersebut juga otomatis tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Demikain, semoga bermanfaat untuk kita semua.






5 comments:

  1. trus kalo untuk perpanjangan ijin tower gmn... Trus masyarakat yang terdampak gmn... Apa tidak ada ganti rugi...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masuk Ruang Lingkup Izin Amdal, UKL - UPL

      Delete
  2. Pengaturan pembangunan menara telekomunikasi terdapat dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 02/Per/M.Kominfo/03/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi (“Permenkominfo02/2008”).
    Selain itu juga diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 18 Tahun 2009; Nomor: 07/Prt/M/2009; Nomor: 19/Per/M.Kominfo/03/2009; Nomor: 3 /P/2009 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi (“Peraturan Bersama Menteri”).

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bang Mohon Maaf sebelumnya Sekedar Saran untuk Blognya, Tidak cocok judulnya HRD n General Affair pekerjaanya tidak berkaitan dengan mengurus izin, yang berkaitan dengan mengurus perizinan itu LEGAL. HRD ruang linkupnya peraturan lex spesialis (PKWTT-PKWT) PKB,SOP,kedisiplinan,payroll. General Affair sama sekali tidak ada kaitanya izin.

      Delete
  3. Terimakasih atas saran dan masukannya. Pengurusan ijin H.O bagi sebagian perusahaan yg sudah establish, sudah mapan pasti akan diurus oleh bagian tersediri yaitu legal. Pada prakteknya terutama untuk perusahaan kelas menengah, urusan ini dipegang oleh bagian GA, yg pada umumnya GA menjadi satu departmen dengan HRD. Jadi menurut saya artikel ini masih dapat dikatakan berhubungan dengan pekerjaan HRGA. Mohon maaf jika saya berbeda pendapat, dan sekali lagi terimakasih sudah mampir di blog saya.

    ReplyDelete

Entri yang Diunggulkan

Omnibus Law Ketenagakerjaan dan Urgensinya

Bogor, 31-01-2020. Sudah lebih sekitar tiga bulan terakhir ini, kita sering kali mendengar istilah "Omnibus Law" bahkan hingga sa...