Ilmu HRD

Blog berbagi ilmu untuk praktisi HR

Breaking

Cari di Blog Ini

Tunjangan Hari Raya (THR) dulu hingga kini

Lebaran sebentar lagi tiba, hampir semua rakyat Indonesia yang masih aktif bekerja tentunya sedang menanti-nanti dibayarkannya hak mereka setiap setahun sekali. Apalagi kalau bukan yang namanya THR (Tunjangan Hari Raya). Ternyata istilah THR ini dikenal bukan hanya bagi pegawai di sektor formal seperti PNS, Pegawai Swasta, Pegawai BUMN dan lainnya. Di sektor informal pun ada yang memberikan THR kepada pekerjanya atau teman bisnisnya atau juga koleganya meskipun istilah THR tersebut tidak bisa disamakan dengan istilah sebagaimana dalam aturan THR yang berlaku. Misalnya juragan toko memberikan THR kepada penjaga tokonya, pedagang grosir memberi THR kepada pengecernya, atau juga warga komplek perumahan memberikan THR kepada satpam perumahannya. Apapun itu THR memberikan dampak yang positif kepada semua orang.
Sumber Gambar : TribunNews.com


Sejarah munculnya THR

Tepatnya pada era kabinet Soekiman Wirjosandjojo. Kabinet tersebut dilantik pada tahun 1951 dan memiliki program yang salah satunya untuk meningkatkan kesejahteraan pamong pradja yang kini dikenal dengan sebutan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pada awalnya, tunjangan diberikan hanya kepada aparatur negara saja. Pemberian tunjangan ini merupakan sebuah strategi agar para PNS di masa itu memberikan dukungan kepada kabinet yang sedang berjalan. Saat pelaksanaanya, Kabinet Soekiman membayarkan tunjangan kepada para pegawai di akhir bulan Ramadan berjumlah sekitar Rp 125 atau sekitar Rp 1.100.000 juta di masa sekarang hingga Rp 200 atau setara Rp 1.750.000 juta.
Tak hanya uang, kabinet Soekiman sendiri juga memberikan tunjangan lain berupa beras.






Namun, kebijakan tunjangan yang hanya diperuntukkan PNS ini mendapat gelombang protes dari kaum buruh. Mereka pun juga meminta agar nasibnya turut diperhatikan oleh pemerintah. Para buruh tersebut melancarkan aksi mogok pada 13 Februari 1952 dengan tuntutan agar diberikan tunjangan dari pemerintah di setiap akhir bulan Ramadan. Kebijakan dari Kabinet Soekiman ini dianggap pilih kasih oleh para buruh. Karena hanya memberikan tunjangan kepada pegawai pemerintah.

Diketahui, pada masa itu, aparatur pemerintah Indonesia masih diisi oleh para kaum priyayi, ningrat, dan kalangan atas lainnya.Tentunya, para buruh merasa hal tersebut tidak adil karena mereka juga merasa turut bekerja keras bagi perusahaan-perusahaan swasta dan milik Negara, namun mereka tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Namun kebijakan tunjangan dari kabinet Soekiman akhirnya menjadi titik awal bagi pemerintah untuk menjadikannya sebagai anggaran rutin Negara.
Siapakah Soekiman Wirjosandjojo? Soekiman Wirosandjojo adalah tokoh politik dan pejuang kemerdekaan Indonesia yan gjuga dikenal sebagai tokoh Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Ia adalah Perdana Menteri pada 27 April 1951-3 April 1952. Lahir di Sewu, Solo pada tahun 1898.


Peraturan tentang THR

Tahun 1994 pemerintah baru secara resmi mengatur perihal THR secara khusus. Peraturan mengenai THR ini dituangkan di dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan. Dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa pengusaha wajib memberikan THR kepada para pekerja yang telah bekerja selama tiga bulan secara terus menerus ataupun lebih. Besaran THR yang diterima pun disesuaikan dengan masa kerja. Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih menerima sebesar satu bulan gaji. Sementara pekerja yang mempunyai masa kerja tiga bulan secara terus menerus, tetapi kurang dari 12 bulan diberikan secara proporsional dengan masa kerjanya, yakni dengan perhitungan masa kerja/12 x 1(satu) bulan gaji.

Pada Tahun 2016, pemerintah melalui Kementrian Ketenagakerjaan, merevisi peraturan mengenai THR tersebut. Perubahan ini tertuang dalam peraturan menteri ketenagakerjaan No.6/2016. Peraturan terbaru itu menyebutkan bahwa pekerja yang memiliki masa kerja minimal satu bulan sudah berhak mendapatkan Tunjangan Hari Raya. Selain itu kewajiban pengusaha untuk memberi THR tidak hanya diperuntukan bagi karyawan tetap, melainkan juga untuk pegawai kontrak. Termasuk yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) maupun perjanjian kerja waktu tertentu, (PKWT). 

THR ini harus dibayarkan kepada pekerja paling lambat 7(tujuh) hari sebelum pelaksanaan hari raya keagamaan (Pasal 5 Permenaker No.6 Tahun 2016). Bagi Perusahaan yang terlambat membayarkan THR kepada pekerjanya akan ada denda yang menanti.

Apa yang berbeda dari kedua aturan tentang THR tersebut?
Tentu saja yang paling utama adalah bahwa dengan berlakunya aturan baru Permenaker No.6 Tahun 2016, maka aturan lama Permen No.04 Tahun 1994 tidak berlaku lagi. Perbedaan selanjutnya dapat dilihat dalam tabel berikut ini;


Gambar 1. Tabel Komparasi aturan THR lama Vs aturan THR baru


Jadi Gaes, bagi anda yang sudah bekerja selama lebih dari 1(satu) bulan, anda sudah berhak menerima THR

No comments:

Post a Comment

Entri yang Diunggulkan

Omnibus Law Ketenagakerjaan dan Urgensinya

Bogor, 31-01-2020. Sudah lebih sekitar tiga bulan terakhir ini, kita sering kali mendengar istilah "Omnibus Law" bahkan hingga sa...